Ekonomi
dan Lemahnya Hukum
Dalam setiap pembahasan tentang
penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi dan buruknya minat investasi di
Indonesia, salah satu faktor utama yang selalu disebut adalah lemahnya sistem
hukum, baik jaminan terhadap kepemilikan individu (property rights), kontrak,
penyelesaian perselisihan melalui pengadilan, dan korupsi.
Namun,
ironis untuk menyatakan bahwa bekerjanya sistem hukum yang baik adalah
persyaratan bagi masuknya investasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena
membangun sistem hukum yang andal membutuhkan waktu lama dan mahal biayanya.
Selama
ini pembangunan sistem hukum di Indonesia tidak pernah mendapatkan prioritas.
Sekarang pun, meski kerap kali dinyatakan sebagai prioritas oleh pemerintah,
tetapi dalam pelaksanaannya tidak demikian. Mengharapkan sistem hukum bekerja
sebagaimana di negara-negara maju akan membutuhkan waktu yang bahkan mungkin
mencapai beberapa dekade. Apakah dengan demikian kita harus menunggu sistem
hukum bekerja dengan baik terlebih dahulu baru kemudian perkembangan ekonomi
mengikutinya?
Tentu
saja jawaban yang tepat adalah harus dilakukan bersamaan. Ini berarti pada saat
sistem hukum diperbaiki dan dikembangkan, kegiatan ekonomi juga harus mengalami
perkembangan. Namun, apakah ini mungkin terjadi?
DALAM
disiplin ilmu ekonomi, pentingnya sistem hukum tidaklah diabaikan, bahkan
terdapat kesepakatan umum bahwa kerangka hukum merupakan persyaratan perlu
(necessary condition) agar sistem ekonomi pasar dapat bekerja dengan berhasil.
Bahkan, kalangan yang dikenal sebagai libertarian yang ekstrem menganggap
kerangka hukum sebagai syarat perlu dan cukup (necessary and sufficient) bagi
berfungsinya pasar dengan baik.
Teorema
Coase yang terkenal menyatakan, jika hak milik pribadi dijamin, maka kontrak
yang dilakukan secara sukarela (voluntary contract) dapat mencapai seluruh
keuntungan ekonomi yang ada, termasuk internalisasi terhadap eksternalitas dan
penyediaan barang publik (public goods). Jadi, teori ekonomi konvensional tidak
mengabaikan pentingnya hukum, hanya permasalahannya menganggap berfungsinya
sistem hukum dengan baik sebagai pemberian (taken for granted).
Asumsinya,
negara yang memonopoli penggunaan paksaan (coercion), dan negara merencanakan
serta menjalankan hukum dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan rakyat
(social welfare).
Pandangan
sederhana ini membuat analisis ekonomi menjadi sangat terfokus pada bekerjanya
pasar dengan mengutamakan kebijaksanaan liberalisasi dan deregulasi. Namun,
belakangan disadari bahwa analisis ini tidak memadai untuk menjelaskan dan
mencari jalan keluar bagi pemulihan ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia.
Meski
perekonomian telah diliberalisasi sedemikian jauh, pertumbuhan ekonomi tetap
rendah karena tidak berkembangnya investasi. Sayang, hanya negara maju yang
mempunyai sistem hukum sebagaimana diidealisikan para ekonom, yaitu pemerintah
menjalankan sistem hukum dengan perhatian utama pada memaksimalkan
kesejahteraan sosial.
Di
semua negara dalam sejarahnya, pengembangan sistem hukum sangat mahal, lambat,
tidak dapat diandalkan (unreliable), bias, korup, bahkan tidak ada sama sekali.
Di banyak negara keadaan seperti ini masih berlaku. Bekerjanya pasar dalam
sistem hukum yang demikian sangat berbeda dengan pasar sebagaimana yang
digambarkan dalam teori ekonomi konvensional.
Tentu
saja kegiatan ekonomi tidak berhenti hanya karena pemerintah tidak dapat menyediakan
sistem hukum yang dapat diandalkan. Karena itu, biasanya masyarakat sendiri
mengembangkan alternatif institusi untuk menyubstitusikan lemahnya sistem hukum
yang disediakan pemerintah. Termasuk di dalamnya melakukan perlindungan sendiri
atau mempekerjakan tenaga keamanan profesional untuk melindungi hak milik,
mengembangkan jaringan informasi, dan memanfaatkan norma-norma sosial termasuk
dengan hukumannya untuk menjamin suatu kontrak dihargai dengan baik.
Dalam
versi ekstrem, Teorema Coase menyatakan bahwa segala sesuatunya akan bekerja
sebisanya dalam keadaan apa pun. Sayangnya, apa yang terjadi di Indonesia,
bekerjanya institusi alternatif tersebut jauh dari optimal bahkan banyak yang
merugikan negara dan masyarakat pada umumnya, seperti perlindungan terhadap
penambangan dan penebangan hutan liar, dan premanisme.
Pada
saat sistem hukum formal tidak berfungsi baik, selalu ada alternatif pengganti
sekalipun tidak optimal.
PROSES
untuk membangun sistem hukum dan memperbaikinya sampai tingkat dapat berfungsi
baik adalah lambat dan mahal. Namun, ini tdak berarti kita harus meniru
sepenuhnya dengan apa yang dikembangkan di negara-negara Barat.
Mungkin
kita membangun dan memanfaatkan alternatif institusi yang tersedia dan
mengembangkannya sambil kita mengembangkan sistem hukum yang benar-benar dapat
diandalkan dalam jangka panjang.
Tentu
saja untuk melakukannya, kita harus memahami bagaimana bekerjanya berbagai
institusi, dan bagaimana mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam
keadaan di mana sistem hukum yang disediakan pemerintah masih lemah keadaannya.
Bahkan,
di negara-negara maju sekali pun, di mana sistem hukum berjalan dengan baik,
perselisihan ekonomi dan non- ekonomi tidak segera dipecahkan di pengadilan.
Proses peradilan pada umumnya merupakan langkah terakhir (the last resort).
Masyarakat berusaha memecahkan perselisihan di antara mereka dengan berbagai
metode negosiasi, dan hanya jika gagal baru memanfaatkan proses peradilan.
Bahkan,
sering kali penyelesaian melalui sistem peradilan menjadi amat mahal dan
hasilnya tidak memuaskan kedua pihak. Karena itu, aspek hubungan yang sudah
berjalan lama yang saling percaya dan dilakukan secara berulang- ulang
(repeated games), dan arbitrase (penyelesaian perselisihan melalui negosiasi)
menjadi cara yang amat umum dalam menyelesaikan persoalan bisnis.
Sayang,
kita di Indonesia tak mengembangkan dengan baik proses penyelesaian
nonperadilan ini dan berharap terlalu banyak, yang kemudian amat mengecewakan,
dengan proses peradilan yang masih lemah
Sebagai
contoh, penyelesaian perselisihan kontrak energi geotermal Karaha Bodas melalui
proses arbitrase internasional disepelekan pihak Indonesia (Pertamina dan
pemerintah). Sampai hasil arbitrase itu berkekuatan hukum melalui Peradilan AS,
baru pemerintah sibuk menolak putusan yang sudah mengikat itu, untuk membayar
sekitar 300 juta dollar AS, dengan mengandalkan sistem hukum kita yang lemah
ini.
Jika
sejak semula kita membiasakan mempergunakan dan menghargai proses arbitrase,
kepastian melakukan investasi di Indonesia akan jauh lebih baik sekalipun
sistem hukum masih relatif lemah.
PROSES
arbitrase ini yang antara lain perlu dikembangkan dalam menyelesaikan
perselisihan ekonomi-bisnis yang dapat mencakup perselisihan antarperusahaan,
antara perusahaan dan pemerintah, antara manajemen dan pekerja, serta antara
perusahaan dan masyarakat.
Secara
bersamaan dan bertahap, kita juga mengembangkan proses peradilan, paling tidak
dalam aspek tertentu terlebih dahulu, misalnya kepailitan, yang dapat menjadi
tumpuan terakhir dari penyelesaian perselisihan jika proses arbitrase tidak
lagi memadai. Arbitrase dapat mempunyai keuntungan dalam biaya (finansial dan
waktu), yang biayanya dapat lebih rendah dibanding sistem peradilan, mempunyai
keuntungan dalam penyampaian informasi yang lebih baik, dan kemungkinan dengan
hasil yang lebih baik kualitasnya.
Forum
arbitrase dapat disesuaikan dengan spesialisasi industri, geografi, dan
lain-lain dalam jangkauan perselisihan yang dapat ditangani. Forum arbitrase
ini membutuhkan spesialis dalam bidang tertentu dan dapat mengadopsi prosedur
dan peraturan mengenai bukti-bukti tertentu namun berlaku sama untuk semua kasus.
Proses
arbitrase tentunya tidak mempunyai kekuatan pemaksa yang dimiliki negara (state
coercion) untuk memastikan berbagai pihak mengikuti putusan yang dikeluarkan.
Namun, proses ini sangat membantu pada saat kita belum dapat mengandalkan
sistem hukum yang baik.(Umar Juoro Ketua Dewan Direktur CIDES (Center for
Information and Development Studies); Senior Fellow the Habibie Center)