Minggu, 04 Juni 2017

Ekonomi & Lemahnya Hukum (tulisan8)

Ekonomi dan Lemahnya Hukum
Dalam setiap pembahasan tentang penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi dan buruknya minat investasi di Indonesia, salah satu faktor utama yang selalu disebut adalah lemahnya sistem hukum, baik jaminan terhadap kepemilikan individu (property rights), kontrak, penyelesaian perselisihan melalui pengadilan, dan korupsi.
Namun, ironis untuk menyatakan bahwa bekerjanya sistem hukum yang baik adalah persyaratan bagi masuknya investasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena membangun sistem hukum yang andal membutuhkan waktu lama dan mahal biayanya.
Selama ini pembangunan sistem hukum di Indonesia tidak pernah mendapatkan prioritas. Sekarang pun, meski kerap kali dinyatakan sebagai prioritas oleh pemerintah, tetapi dalam pelaksanaannya tidak demikian. Mengharapkan sistem hukum bekerja sebagaimana di negara-negara maju akan membutuhkan waktu yang bahkan mungkin mencapai beberapa dekade. Apakah dengan demikian kita harus menunggu sistem hukum bekerja dengan baik terlebih dahulu baru kemudian perkembangan ekonomi mengikutinya?
Tentu saja jawaban yang tepat adalah harus dilakukan bersamaan. Ini berarti pada saat sistem hukum diperbaiki dan dikembangkan, kegiatan ekonomi juga harus mengalami perkembangan. Namun, apakah ini mungkin terjadi?
DALAM disiplin ilmu ekonomi, pentingnya sistem hukum tidaklah diabaikan, bahkan terdapat kesepakatan umum bahwa kerangka hukum merupakan persyaratan perlu (necessary condition) agar sistem ekonomi pasar dapat bekerja dengan berhasil. Bahkan, kalangan yang dikenal sebagai libertarian yang ekstrem menganggap kerangka hukum sebagai syarat perlu dan cukup (necessary and sufficient) bagi berfungsinya pasar dengan baik.
Teorema Coase yang terkenal menyatakan, jika hak milik pribadi dijamin, maka kontrak yang dilakukan secara sukarela (voluntary contract) dapat mencapai seluruh keuntungan ekonomi yang ada, termasuk internalisasi terhadap eksternalitas dan penyediaan barang publik (public goods). Jadi, teori ekonomi konvensional tidak mengabaikan pentingnya hukum, hanya permasalahannya menganggap berfungsinya sistem hukum dengan baik sebagai pemberian (taken for granted).
Asumsinya, negara yang memonopoli penggunaan paksaan (coercion), dan negara merencanakan serta menjalankan hukum dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan rakyat (social welfare).
Pandangan sederhana ini membuat analisis ekonomi menjadi sangat terfokus pada bekerjanya pasar dengan mengutamakan kebijaksanaan liberalisasi dan deregulasi. Namun, belakangan disadari bahwa analisis ini tidak memadai untuk menjelaskan dan mencari jalan keluar bagi pemulihan ekonomi seperti yang terjadi di Indonesia.
Meski perekonomian telah diliberalisasi sedemikian jauh, pertumbuhan ekonomi tetap rendah karena tidak berkembangnya investasi. Sayang, hanya negara maju yang mempunyai sistem hukum sebagaimana diidealisikan para ekonom, yaitu pemerintah menjalankan sistem hukum dengan perhatian utama pada memaksimalkan kesejahteraan sosial.

Di semua negara dalam sejarahnya, pengembangan sistem hukum sangat mahal, lambat, tidak dapat diandalkan (unreliable), bias, korup, bahkan tidak ada sama sekali. Di banyak negara keadaan seperti ini masih berlaku. Bekerjanya pasar dalam sistem hukum yang demikian sangat berbeda dengan pasar sebagaimana yang digambarkan dalam teori ekonomi konvensional.
Tentu saja kegiatan ekonomi tidak berhenti hanya karena pemerintah tidak dapat menyediakan sistem hukum yang dapat diandalkan. Karena itu, biasanya masyarakat sendiri mengembangkan alternatif institusi untuk menyubstitusikan lemahnya sistem hukum yang disediakan pemerintah. Termasuk di dalamnya melakukan perlindungan sendiri atau mempekerjakan tenaga keamanan profesional untuk melindungi hak milik, mengembangkan jaringan informasi, dan memanfaatkan norma-norma sosial termasuk dengan hukumannya untuk menjamin suatu kontrak dihargai dengan baik.
Dalam versi ekstrem, Teorema Coase menyatakan bahwa segala sesuatunya akan bekerja sebisanya dalam keadaan apa pun. Sayangnya, apa yang terjadi di Indonesia, bekerjanya institusi alternatif tersebut jauh dari optimal bahkan banyak yang merugikan negara dan masyarakat pada umumnya, seperti perlindungan terhadap penambangan dan penebangan hutan liar, dan premanisme.
Pada saat sistem hukum formal tidak berfungsi baik, selalu ada alternatif pengganti sekalipun tidak optimal.
PROSES untuk membangun sistem hukum dan memperbaikinya sampai tingkat dapat berfungsi baik adalah lambat dan mahal. Namun, ini tdak berarti kita harus meniru sepenuhnya dengan apa yang dikembangkan di negara-negara Barat.
Mungkin kita membangun dan memanfaatkan alternatif institusi yang tersedia dan mengembangkannya sambil kita mengembangkan sistem hukum yang benar-benar dapat diandalkan dalam jangka panjang.
Tentu saja untuk melakukannya, kita harus memahami bagaimana bekerjanya berbagai institusi, dan bagaimana mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam keadaan di mana sistem hukum yang disediakan pemerintah masih lemah keadaannya.
Bahkan, di negara-negara maju sekali pun, di mana sistem hukum berjalan dengan baik, perselisihan ekonomi dan non- ekonomi tidak segera dipecahkan di pengadilan. Proses peradilan pada umumnya merupakan langkah terakhir (the last resort). Masyarakat berusaha memecahkan perselisihan di antara mereka dengan berbagai metode negosiasi, dan hanya jika gagal baru memanfaatkan proses peradilan.
Bahkan, sering kali penyelesaian melalui sistem peradilan menjadi amat mahal dan hasilnya tidak memuaskan kedua pihak. Karena itu, aspek hubungan yang sudah berjalan lama yang saling percaya dan dilakukan secara berulang- ulang (repeated games), dan arbitrase (penyelesaian perselisihan melalui negosiasi) menjadi cara yang amat umum dalam menyelesaikan persoalan bisnis.

Sayang, kita di Indonesia tak mengembangkan dengan baik proses penyelesaian nonperadilan ini dan berharap terlalu banyak, yang kemudian amat mengecewakan, dengan proses peradilan yang masih lemah
Sebagai contoh, penyelesaian perselisihan kontrak energi geotermal Karaha Bodas melalui proses arbitrase internasional disepelekan pihak Indonesia (Pertamina dan pemerintah). Sampai hasil arbitrase itu berkekuatan hukum melalui Peradilan AS, baru pemerintah sibuk menolak putusan yang sudah mengikat itu, untuk membayar sekitar 300 juta dollar AS, dengan mengandalkan sistem hukum kita yang lemah ini.
Jika sejak semula kita membiasakan mempergunakan dan menghargai proses arbitrase, kepastian melakukan investasi di Indonesia akan jauh lebih baik sekalipun sistem hukum masih relatif lemah.
PROSES arbitrase ini yang antara lain perlu dikembangkan dalam menyelesaikan perselisihan ekonomi-bisnis yang dapat mencakup perselisihan antarperusahaan, antara perusahaan dan pemerintah, antara manajemen dan pekerja, serta antara perusahaan dan masyarakat.
Secara bersamaan dan bertahap, kita juga mengembangkan proses peradilan, paling tidak dalam aspek tertentu terlebih dahulu, misalnya kepailitan, yang dapat menjadi tumpuan terakhir dari penyelesaian perselisihan jika proses arbitrase tidak lagi memadai. Arbitrase dapat mempunyai keuntungan dalam biaya (finansial dan waktu), yang biayanya dapat lebih rendah dibanding sistem peradilan, mempunyai keuntungan dalam penyampaian informasi yang lebih baik, dan kemungkinan dengan hasil yang lebih baik kualitasnya.
Forum arbitrase dapat disesuaikan dengan spesialisasi industri, geografi, dan lain-lain dalam jangkauan perselisihan yang dapat ditangani. Forum arbitrase ini membutuhkan spesialis dalam bidang tertentu dan dapat mengadopsi prosedur dan peraturan mengenai bukti-bukti tertentu namun berlaku sama untuk semua kasus.

Proses arbitrase tentunya tidak mempunyai kekuatan pemaksa yang dimiliki negara (state coercion) untuk memastikan berbagai pihak mengikuti putusan yang dikeluarkan. Namun, proses ini sangat membantu pada saat kita belum dapat mengandalkan sistem hukum yang baik.(Umar Juoro Ketua Dewan Direktur CIDES (Center for Information and Development Studies); Senior Fellow the Habibie Center)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar