Kamis, 30 Maret 2017

Perlindungan Konsume

1.   Contoh Kasus

Jerit Tangis Rita Produsen Vaksin Palsu Saat Dituntut 12 Tahun Penjara



Ilustrasi palu sidang (Foto:Pixabay)

Rita Agustina, terdakwa produsen vaksin palsu asal Kota Bekasi menangis histeris saat mendengar pembacaan tuntutan hukuman 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dia juga dikenai denda Rp 300 juta.
"Terdakwa Rita Agustina dan suaminya Hidayat Taufiqurahman tidak memiliki kemampuan kefarmasian dan izin edar vaksin, sehingga jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara berikut denda Rp 300 juta kepada kedua terdakwa," kata Jaksa Penuntut Umum Kejari Bekasi Andi Adikawira di Pengadilan Negeri Bekasi, Senin (6/3), seperti dilansir Antara.
Tuntutan itu dibacakan Andi di hadapan majelis hakim yang diketuai oleh Ketua Hakim Pengadilan Negeri Bekasi Merver Pandiangan, tanpa dihadiri kuasa hukum terdakwa. Sesaat kemudian, tangisan Rita pecah di ruang sidang. Dia begitu terkejut dengan tuntutan jaksa.
"Astaghfirullah, berat sekali tuntutannya, kasihan anak saya tidak ada mamanya," kata Rita sambil terus menangis histeris di hadapan majelis hakim dan JPU.
Hidayat yang berada di samping Rita tampak menenangkan perempuan berjilbab itu. Dia mengelus punggung serta memeluk istrinya tersebut dan memintanya untuk tabah. Majelis hakim juga ikut menenangkan Rita. Namun Rita tetap tak dapat membendung rasa sedihnya.
Hakim ketua Merver Pandiangan pun kembali mempertegas isi tuntutan JPU dan menyarankan para terdakwa untuk mempersiapkan materi pembelaan pada agenda sidang berikutnya.
"Sudah, kalian berdua silakan mempersiapkan pembelaan dan silakan kembali ke sel tahanan pengadilan. Saya juga minta jangan sampai molor, paling telat Kamis (9/3) sidang lanjutan dimulai," kata Merver.
Hakim pun menutup agenda persidangan pembacaan tuntutan tersebut, namun isak tangis Rita belum terbendung. Bahkan ibu dua anak itu sempat jatuh lemas di tangga lantai persidangan saat menuju ke sel tahanan. Rita tampak dibopong oleh suaminya serta petugas pengadilan menuju sel tahanan dengan terus menyebut nama kedua anaknya.

Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman diketahui berperan sebagai produsen vaksin palsu tripacel, pediacel, enggerik B, Harvics dan tuberkolin di rumahnya kawasan Kemang Pratama, Kecamatan Bekasi Selatan sejak 2010 hingga 2016.

Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman (Foto:Facebook/Rita Agustina)
Terdakwa ditangkap petugas pada Juni 2016 berdasarkan kepemilikan barang bukti berupa alat-alat produksi vaksin di rumahnya yang didapat dari Pasar Proyek, Jalan Ir H Djuanda, Bekasi Timur.
Dari 20 terdakwa yang terseret dalam kasus vaksin palsu tersebut, ada 7 orang yang dituntut 12 tahun penjara, termasuk Rita dan suami. Mereka dikenai denda dengan jumlah variatif, dari Rp 50 juta-Rp 1 miliar. Namun tuntutan tertinggi ditetapkan kepada Rita dan Hidayat.
"Saat ini dari 18 berkas kasus dengan 20 terdakwa telah menyelesaikan tahapan sidang tuntutan," kata Andi Adikawira yang juga Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Kota Bekasi itu.
Nuraini sebagai pemasok botol bekas dan Agus Priyanto sebagai produsen juga dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Tuntutan yang sama juga dijatuhkan kepada Irnawati selaku perawat Rumah Sakit Harapan Bunda Pondok Ungu serta Iin Sulastri dan Syafrizal selaku produsen.
"Tuntutan denda Rp 1 miliar dan kurungan selama 10 tahun diterima oleh lima terdakwa atas perannya sebagai distributor. Mereka adalah Kartawinata, Syahrur Munir, Sutarman, Mirza dan M Farid," kata Andi.
Sementara sembilan terdakwa lainnya yakni Sugiyati selaku pengumpul botol menerima tuntutan delapan tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Manoguelly Novita selaku bidang menerima tuntutan 10 tahun penjara berikut denda Rp 100 juta.
Thamrin selaku pengedar dan perantara dituntut hukuman 9 tahun penjara berikut denda Rp 300 juta. Seno selaku perantara dituntut 9 tahun penjara dengan denda Rp 300 juta, Milna selaku pegawai bidang klinik Jatiasih dituntut 10 tahun penjara. Suparjan selaku pemilik klinik dituntut 10 tahun penjara, Sutanto selaku pencetak label kemasan 5 tahun penjara dan dokter Hud Mars 10 tahun penjara.
Para terdakwa dijerat dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. "Kami menargetkan paling lambat 25 Maret 2017 sudah ada putusan pengadilan atas kasus vaksin ini," katanya.
Sumber:








2.   Teori

A.  Undang Undang Perlindungan Konsumen
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
  1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
  3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
  4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
  5. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
  7. bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat:
Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
  2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
  3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
  4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.
  5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
  6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
  7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
  8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
  9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
  10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
  11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
  12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
  13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan:
  1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
  3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
  4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
  1. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
  1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
  2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
  3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah:
  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
  5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERDUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
  1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
    1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
    3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
    4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
    5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
    6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
    7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
    8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
    9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
    10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
  3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
  4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
  1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
    1. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
    2. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
    3. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
    4. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
    5. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
    6. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
    7. barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
    8. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
    9. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
    10. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
    11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
  2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
  3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
  1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
  2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
  3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
  4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
  5. bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
  1. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
  2. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
  3. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
  4. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
  5. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
  6. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
  1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
  2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
  1. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
  2. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
  3. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
  4. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
  1. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
  2. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
  1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
    1. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
    2. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
    3. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
    4. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
    5. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
    6. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
  2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
  1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
    1. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
    2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
    3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
    4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
    5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
    6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
    7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
    8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
  2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
  3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
  4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
  1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
  5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
  1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
  2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
  1. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
    1. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
    2. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
  2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
  1. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
  2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
    1. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
    2. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
  1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk diedarkan;
  2. cacat barang timbul pada kemudian hari;
  3. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
  4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
  5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
  1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
  2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
  3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
  4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk:
    1. terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
    2. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
    3. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
  1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
  2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat l dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
  3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
  4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan rnenteri teknis.
  6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34
  1. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
    1. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
    2. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
    3. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
    4. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
    5. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
    6. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
    7. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
  1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
  2. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
  3. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
  4. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
  1. pemerintah;
  2. pelaku usaha;
  3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
  4. akademisi; dan
  5. tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
  3. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
  4. sakit secara terus menerus;
  5. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
  6. diberhentikan.
Pasal 39
  1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat.
  2. Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
  3. Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
  1. Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan lbu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
  2. Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PFRLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
  1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
  2. Lernbaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
  3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
    1. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
    2. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
    3. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
    4. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
    5. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
MENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
  1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
  2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
  3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
  4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.
Pasal 46
  1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
    1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
    2. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
    3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
    4. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
  2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
  1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
  2. Untuk, dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
    1. warga negara Republik Indonesia;
    2. berbadan sehat;
    3. berkelakuan baik;
    4. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
    5. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
    6. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
  3. Anggota sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
  4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
  5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
  1. ketua merangkap anggota;
  2. wakil ketua merangkap anggota;
  3. anggota.
Pasal 51
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
  2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
  3. Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
  1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
  2. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
  3. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  4. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
  5. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  6. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
  7. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  8. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
  9. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  10. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
  11. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
  12. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  13. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
  1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
  2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
  3. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
  4. Ketentuan teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
  1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
  2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
  3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
  4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
  1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
  2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
  1. Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
  2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    6. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
  3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
  2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
  1. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
  6. pencabutan izin usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang ini berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AKBAR TANDJUNG


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42



B.     Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
1.                  Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2.                  Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3.                  Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4.                  Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5.                  Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
6.                  Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
C.     Asas Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan asas yang relevan dengan pembangunan nasional. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, terdapat lima asas perlindungan konsumen yaitu :

1.Asas manfaat
Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen yang harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

 


2.Asas keadilan
Asas keadilan adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen dimana memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3.Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah upaya memberikan keseimbangan antara kepentingankonsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.

4.Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini bertujuan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5.Asas kepastian hukum Asas kepastian hukum
 yakni baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.




3. Hak-hak dan Kebijakan menurut UU perlindungan konsumen.
Hak-Hak Konsumen Lainnya menurut Undang-Undang (Other StatutoryRights)

Berbagai peraturan, hukum lokal, negara bagian dan federal
dapat digunakan untuk melindungi konsumen, tiga yang penting
diantaranya :
1.      Konsumen berhak mengemukakan alasan mengapa mereka menolak kredit berdasarkan informasi yang diberikan agen pelaporan kredit dibawah aturan the Fair Credit Reporting Act.
2.       Konsumen memiliki hak ketika merasa tidak pugs atas apa yang dilakukan pihak produsen secara tidak resmi berkaitan dengan
gugatan yang diajukan sebagaimana ditetapkan dalam Magnuson-
Moss Warranty Act (lihat Appendix 7H).
3.      Konsumen berhak untuk tidak membayar pembelian kartu kredit yang diperselisihkan kepada perusahaan kartu kredit ketika terdapat kesalahan sebagaimana ditetapkan the Fair Credit Billing Act.

            Kebijakan perlindungan konsumen belum sepenuhnya menjadi kesadaran masyarakat. Peredaran barang dan/atau jasa yang ditawarkan seringkali merugikan konsumen. Kedudukan konsumen yang lemah, membuat pelaku usaha leluasa melakukan praktek niaga yang tidak jujur dan bertanggung jawab.
Sejalan dengan upaya sosialisasi kebijakan, meningkatnya kesadaran masyarakat, muiai mendatangkan pengaduan konsumen. namun kebijakan kebijakan terkait guna mendukung penanganan masalah perlindungan konsumen belum sepenuhnya tersedia.


            Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan perlindungan konsumen oleh pemerintah dalam penanganan pengaduan konsumen, mengidentifikasi faktor faktor penghambat dan pendukung implementasi kebijakan perlindungan konsumen dalam menghadapi serbuan barang-barang impor maupun produk lokal yang tidak memenuhi standar yang menimbulkan pengaduan konsumen dan mendeskripsikan persepsi dan harapan konsumen terhadap pelayanan pengaduan konsumen yang dilakukan pemerintah dalam memberikan rasa nyaman, aman dan keselamatan kepada konsumen. Metoda penelitian yang digunakan adalah penelitian eksploratif dan deskriptif dengan 5 (lima) variabel penelitian  implementasi kebijakan dan 50 (limapuluh) responden persepsi dan harapan konsumen.



            Hasil penelitian menemukan bahwa dari sisi isi kebijakan, pada penjelasan umum undang-undang ditemukan adanya pengecualian pemberlakuan undang undang yang dapat menyulitkan penyelesaian pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dan menengah. Ditemukan adanya sistem perlindungan
konsumen yang tidak memberikan penjelasan, mengenai sistem yang dimaksud. Ditemukan adanya isi pasal yang saling bertentangan, pada bab XI. Ditemukan pula beberapa perangkat kelembagaan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang belum terbantuk hingga penelitian ini dilakukan. Dari sisi birokrasi, mekanisme dan prosedur penyelesaian pengaduan konsumen belum baku, kewenangan dan tanggung jawab belum mempunyai batas yang jelas, belum adanya peraturan teknis operasional yang dapat dijadikan acuan, telah menimbulkan dampak keraguan aparat dalam bertindak melaksanakan implementasi kebijakan perlindungan konsumen. Dari sisi karakteristik lembaga, peran dan tugas dijalankan menurut kebiasaan dengan jumlah pelaksana terbatas, membuat penyelesaian pengaduan konsumen beium sepenuhnya mampu ditangani. Dari sisi sumber daya, dana yang tersedia sangat
terbatas dibanding kegiatan-kegiatan yang harus dikerjakan, kemampuan sumber daya manusia untuk menangani pengaduan konsumen juga sangat terbatas.

            Dari sisi kondisi lingkungan, kondisi sosial dan sikap masyarakat pada umumnya memiliki tingkat kesadaran yang rendah akan hak sebagai konsumen. Kondisi ekonomi dengan tingkat pendapatan dan daya beli yang rendah akibat dampak krisis ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda pulih, membuat masyarakat masih lebih mengutamakan dapat memperoleh atau
membeli barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah yang cukup dan murah dan belum menghiraukan mutu barang danlatau jasa yang dibeli. Kondisi politik menunjukkan belum memadainya keberpihakan pemerintah kepada konsumen, misalnya kesulitan dalam penerapan ketentual label Halal pada produk makanan, minuman dan kosmetik bagi perlindungan konsumen muslim di Indonesia, dan kesulitan dalam penerapan ketentuan standar barang dan/atau jasa. Keamanan yang rawan pada beberapa waktu yang
lalu serta penegakan hukum yang lemah, membuat implementasi kebijakan perlindungan konsumen tidak mudah diserap masyarakat.

            Dari sisi persepsi dan harapan konsumen, sekalipun konsumen puas atas pelayanan pengaduan konsumen yang dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen, ditinjau dan karakteristik responder, hasil penelitian tidak dapat mewakili persepsi dan harapan masyarakat pada umumnya, terutama tingkat pendidikan responden penelitian dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara keseluruhan.
Temuan persepsi konsumen terhadap penanganan pengaduan konsumen yang kontras sangat dimungkinkan karena konsumen yang tidak memahami/tidak memiliki typologi pelayanan ideal, bisa jadi karena konsumen
tidak lagi memfokuskan diri pada penyelesaian kasus, tetapi lebih kepada merasa puas atas pelayanan yang diterima, dapat pula terjadi karena jumlah pengaduan yang relatif masih kecil sehingga setiap pengaduan konsumen dapat dilayani dengan baik dan memuaskan.

            Undang Undang Perlindungan Konsumen tetap dibutuhkan termasuk sebagai payung dan ketentuanketentuan mengenai perlindungan konsumen yang tersebar dalam berbagai undang undang dan peraturan yang ada.

Agar tujuan pembuatan Undang Undang Perlindungan Konsumen dapat benar-benar tercapai, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap isi kebijakan, terutama terhadap isi pasal-pasal yang tidak sesuai dengan tujuan, isi pasal yang tidak jelas dan isi pasal yang saling bertentangan. Badan Penyelesaian Konsumen Nasional sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Perlindungan Konsumen perlu segera dibentuk, pembentukan


Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Perlindungan Kosumen Swadaya Masyarakat pada daerah-daerah yang belum terbentuk, perlu mendapat percepatan. Agar keterbukaan informasi dan akses terhadap informasi perlindungan konsumen dapat tercipta, maka mekanisme dan prosedur penyelesaian pengaduan konsumen pada Direktorat Perlindungan Konsumen yang selama ini telah berjalan, perlu dibakukan dan dituangkan dalam ketetapan tertulis serta dipublikasikan. Peningkatan kesadaran konsumen akan meningkatkan jumlah pengaduan, maka perlu penambahan jumlah petugas pelayanan pengaduan konsumen dengan minat, kemampuan dan keterampilan yang memadai. Guna mempercepat peningkatan kesadaran konsumen, sosialisasi kebijakan perlindungan konsumen tidak hanya dilakukan terhadap konsumen, tetapi juga terhadap pelaku usaha.